Melihat
sejarah dari Kerajaan Padjadjaran,
yang
Rajanya dikenal dari masa itu hingga saat ini,
yaitu
Kanjeng Shri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata,
atau
lebih dikenal dengan sebutan “Prabu
Siliwangi”.
Pada
masa itu Rakyat Padjadjaran menganut agama (mungkin lebih tepatnya
kepercayaan) “Ajaran Djati Sunda”,
dimana
ajaran yang telah lama diyakini oleh seluruh rakyat Padjadjaran ini lebih
menekankan pada“Ajaran
Hidup/Kehidupan”,
salah
satu “Ajaran Djati Sunda”,
yaitu “Tri Tangtu Sundabuwana”
menerapkan
falsafah hidup yang sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai pedoman hidup,
bahkan hingga saat ini.
Dalam “Tri Tangtu Sundabuwana” ada 3
falsafah hidup, yaitu : “Rama
(Pendiri/Kepala Kampung/Kepala Daerah) ; mempunyai tugas mendirikan dan
memimpin suatu daerah, dimana “Rama” ini membabat alas daerah itu, sekaligus
“Rama” inilah yang menjadi pemimpin bagi rakyat di daerah tersebut, Resi
(Pandita) ; mempunyai tugas membimbing rakyat menuju suatu hal yang bijaksana
dan hakiki menuju “Sang Pencipta Alam”,
Raja
(Prabu/Pemimpin seluruh rakyat) ;
mempunyai
tugas memimpin dan membuat kebijakan mengenai semua hal yang berhubungan dengan
rakyatnya”.
Dari 3 falsafah hidup
rakyat Padjadjaran ini, mungkin dapat diterapkan oleh para keturunan
Padjadjaran saat ini, baik yang berjalur dari Cirebon (baik yang berasal dari
Keraton maupun yang berasal dari luar Keraton), Banten (baik yang berada pada
lingkungan kesultanan Banten maupun di luar lingkungan Kesultanan Banten), Sumedang
Larang (baik yang berada pada lingkungan Museum Prabu Geusan Oeloen maupun
diluar lingkungan museum), Galuh (Saat ini daerah Ciamis & sekitarnya),
Sukabumi, Caringin, Majalengka dan berbagai wilayah lainnya yang masih terdapat
trah dari Padjadjran. Sebab 3 falsafah hidup ini dapat menuntun kita pada
kehidupan yang “lurus”, sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh “Para
Karuhun”.
Ada keunikan pada
falsafah hidup “Tri Tangtu Sundabuwana” yang menjadi pedoman hidup rakyat
Padjadjaran ini, yaitu terdapat ciri khas yang dapat dilihat secara kasat
mata/lahiriyah untuk para keturunan Padjadjaran berupa tahi lalat yang
membentuk seperti segitiga (untuk seseorang yang masih ada keturunan dari
Padjadjran bisa langsung cek di seluruh tubuhnya).
Tanda tahi lalat yang
membentuk segitiga inilah yang mempunyai makna “Tri Tangtu Sundabuwana”. Hal
ini dimaksudkan agar para keturunan dari Padjadjaran mempunyai pedoman hidup
seperti rakyat Padjadjaran di masa itu, bahkan “Prabu Siliwangi” pun memegang teguh pedoman hidup
ini. Alangkah baiknya bagi “Para Sedulur” dari trah Padjadjaran untuk menjalani
pedoman hidup yang dipegang teguh oleh “Para Karuhun” ini.
Untuk para keturunan
dari Cirebon (keturunan dari Syaikh Syarief Hidayatullah/Sunan Gunung Djati)
juga terdapat tanda khusus selain tanda “Tri
Tangtu Sundabuwana”ini, yaitu berupa tanda garis putih lurus, yang
terdapat pada kuku jari tangan/kaki. Tanda khusus dari garis putih lurus ini
secara universal bermakna “Islam”,
yang dilambangkan dengan warna putih, sedangkan garis lurus perlambang “Jalan Lurus menuju Sang Pencipta Alam” (untuk
arti dari makna ini, silahkan diterjemahkan oleh masing-masing individu).
Dari 3 falsafah hidup rakyat Padjadjaran ini, mungkin dapat diterapkan oleh para keturunan Padjadjaran saat ini, baik yang berjalur dari Cirebon (baik yang berasal dari Keraton maupun yang berasal dari luar Keraton), Banten (baik yang berada pada lingkungan kesultanan Banten maupun di luar lingkungan Kesultanan Banten), Sumedang Larang (baik yang berada pada lingkungan Museum Prabu Geusan Oeloen maupun diluar lingkungan museum), Galuh (Saat ini daerah Ciamis & sekitarnya), Sukabumi, Caringin, Majalengka dan berbagai wilayah lainnya yang masih terdapat trah dari Padjadjran. Sebab 3 falsafah hidup ini dapat menuntun kita pada kehidupan yang “lurus”, sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh “Para Karuhun”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nama :
Umur :